Indonesia sudah merdeka dari penjajahan sejak 64 tahun silam. Perjalanan panjang menapaki kemerdekaan diikuti dengan serentetan peristiwa, yang mengantar bangsa ini di jurang perpecahan. Perjuangan yang tak kenal lelah akhirnya di era orde baru kebangkitan bangsa yang sudah dirintis sejak tahun 1920 mulai bersemi. Kehidupan kembali menemui secercah harapan, tak terkecuali di sektor pendidikan. Geliat kemajuan bangsa menunjukkan betapa tingginya keinginan luhur untuk memacu diri dari ketertinggalan dari bangsa lainnya.
Seiring kemajuan dan perkembangan zaman, di abad modern ini teknologi begitu mudah diakses, dan zaman telah banyak membentuk gaya hidup seseorang. Merenungkan kembali kemerdekaan RI yang sudah lebih dari setengah abad, eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa, serta prestasinya di kancah persaingan internasional, akan ditentukan oleh satu hal,yaitu: masyarakatnya senang membaca atau tidak. Jika masyarakat tidak memiliki budaya membaca, Indonesia sebagai Negara dan bangsa,cepat atau lambat akan mengalami degradasi,disintegrasi, kenudian terkotak-kotak dan tercabik, bahkan lebih dari itu akan hilang dari peta dunia. Setiawan Hartadi seorang Pustakawan yang bermukim di Surabaya menuturkan bahwa kita gagal membangun masyarakat yang gemar membaca, budaya riset,pemanfaatan iptek,ethos kerja,produktifitas,kemerdekaan,kebangsaaan,waktu, bahkan Indonesia hanyalah konsep-konsep ilusif yang sulit dipahami, dan dihargai oleh masyarakat yang tidak membaca.
Membaca tidak hanya dipahami memaknai rangkaian huruf,kata, dan kalimat,namun juga “membaca” dalam arti memaknai peristiwa kehidupan multi-dimensi. Jika mendidik berarti mengajarkan bagaimana memaknai seluruh pengalaman hidup,maka mendidik berarti mengajarkan bagaimana caranya membaca. Hakikatnya bangsa yang miskin adalah bangsa yang miskin gagasan.
Gagasan berkenaan dengan membangun budaya membaca, terkhusus di dalam dunia pendidikan mutlak dilakukan untuk menjawab tantangan bangsa ke depan. Peletakan dasar kebiasaan membaca harus dimulai sejak dini, khususnya di jenjang pra sekolah dan sekolah dasar terutama di kelas awal. Filosofi yang mendasari hal itu, bahwa anak didik kita yang duduk di jenjang pendidikan dasar awal dari tugas perkembangan jiwa seorang anak,sehingga di saat usia menanjak kebiasaan membaca terus berlanjut hinga dewasa bahkan sampai liang lahat. “Iqra”, maka “bacalah”. Bagaimana membangun budaya membaca sehingga keinginan kita membentuk budaya membaca sejak dini dapat terwujud akan penulis paparkan di bagian ke-dua dari tulisan ini.
Filed under: Uncategorized |
apa kabar PSBG? memang klo kita membaca sejak dini maka kita akanterbiasa…