“Siapa yang bersungguh-sungguh akan meraih kesuksesan”
Tulisan pada bagian kedua ini sengaja penulis sampaikan setelah final sepakbola piala AFF (Asean Football Federation). Pertandingan final yang begitu dramatis dan menegangkan serta menyita perhatian seantero nusantara dan negara jiran, berakhir dengan melahirkan juara baru. Piala yang merupakan lambang supremasi sepakbola tertinggi kawasan Asia Tenggara digengaman kesebelasan Malaysia. Lalu apa hubungan antara sepakbola dengan hari anti korupsi, demonstrasi dan menyebarkan virus membaca?.
Marilah kita menengok kebelakang, saat-saat Tim Nasional (Timnas) kita dan para pendukung yang begitu over euphoria dan confident ketika melibas lawan-lawannya di babak penyisihan di awal dan pertengahan bulan Desember yang lalu. Hampir di setiap kesempatan orang bercerita tentang Timnas, apatahlagi di media massa begitu gencar informasi kesuksesan Timnas di awal kompetisi itu, mulai berita olahraga sampai infotaiment tak henti-hentinya memanfaatkan momentum itu sebagi headline atau berita utama dan tak pelak lagi sepakbola membuktikan dirinya sebagai olahraga massal bercampur-aduk dengan politik (pro-kontra).
Hari itu bertepatan hari kamis, 2 Desember 2010, 1 hari setelah Timnas Indonesia menaklukkan Malaysia dengan skor telak 5-1. Berdasarkan catatan harian penulis, tepat pukul 08.00 Wita dalam waktu bersamaan kantor DBE2 Makassar yang terletak di lantai 3 Gedung Graha Pena masih sunyi. Penulis berdua dengan La Malihu (M&E Specialist) sebelum memulai pekerjaan berbincang seputar sepakbola yang menjadi sorotan dan menghebohkan.
“Pak, saya sebagai anak bangsa bangga dengan Timnas yang haus gelar menaklukkan Timnas negara jiran!. Ada yang mengganjal hati ini, mengapa kita belum juara sudah heboh bukan kepalang?”, ucapku risih kepada La Malihu.
La Malihu dengan senyum simpul menyakinkan, “Pak Amir, kemenangan atas Malaysia seolah melepas semua belenggu antara negara kita dengan negara jiran itu. Malaysia meremehkan martabat bangsa kita di berbagai kesempatan!. Saatnya untuk membuktikan bahwa bangsa kita adalah bermartabat dengan mengalahkan mereka!, meskipun melalui olahraga”.
“Benar juga ucapapan pak Lam”, gumanku dalam hati, sembari turut tertawa kecil bersama dan mengangguk-angguk pertanda ada rasa nasionalisme di dalam dada ini. Secara jujur hati penulis masih bergejolak bukan berarti tidak mensyukuri kemenangan atas Malaysia. Pilihan bijak adalah belajar dari pengalaman bahwa pertarungan belum selesai masih banyak perjalanan dan tantangan yang harus dihadapi sebelum menjadi juara.
“Hi Pak, belajar dari negara-negara dengan kekuatan sepakbola yang mendunia, biasanya menang besar di awal turnamen belum tentu bisa juara!, apalagi kesebelasan kita”, timpal La Malihu dengan nada serius dan terkesan ragu. Percakapan kami berdua terhenti dan kami disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Hari berganti, demontrasi atau unjukrasa saat mahasiswa dan masyarakat tidak puas atas roda pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus berhadapan dengan skandal yang tak kunjung selesai. Di saat yang bersamaan terjadi juga demonstrasi para politikus menyikapi kemenangan kesebelasan Indonesia melibas lawan-lawannya.
Di tempat lain, tepat hari Kamis tanggal 16 Desember 2010 tawuran antar mahasiswa di salah satu kampus universitas ternama di kota Makassar yang tak kunjung pula menemukan solusinya, bahkan semakin menegangkan, dan berita media lokal hingga nasional akan peristiwa itu seakan bersaing dengan berita aksi polikus dengan sepakbola kita, suata keadaan yang memiriskan hati penulis.
Mari kita menengok kegigihan sebagian anak bangsa yang bergelut di dunia pendidikan yang tersebar nunjauh disana di pulau terpencil sampai di lereng-lereng gunung dan lembah. Jauh dari sorotan media dan euphoria berlebihan mendidik anak bangsa. Mereka belum tercemar dengan kepentingan politik praktis, dan belum gontok-gontokan dan masih lugu akan unjukrasa anarkis, membina anak-anak bangsa untuk penjadi pemimpin masa depan jauh dari sifat arrogan apatahlagi korupsi, sebagain besar dari kehidupannya bergelut dengan alam memberi ilmu kepada anak didiknya.
Program membaca dapat memberikan pencerahan bagi anak-anak, mencermati bacaan dan mengidolakan tokoh dalam cerita yang dapat menginspirasi mereka untuk berbudi pekerti yang luhur, bersikap herois atau patriotik, pantang menyerah dan terobsesi dengan sejarah perjuangan bangsanya adalah fundasi kawah candradimuka sebuah peradaban yang bernama pembentukan karakter bangsa untuk sebuah nasionalisme sejati, bukan instan seperti yang ditunjukan dengan tontonan sepakbola tadi.
Nasionalisme harus dibangun secara sistematis, sehingga heroisme perjuangan di berbagai arena menjadi spirit besar belajar dari sejarah dan pengalaman masa lalu. Kita harus belajar dari kesebelasan Malaysia, yang bersungguh-sungguh membina anak bangsanya sendiri tanpa naturalisasi, padahal potensinya menaturaisasi lebih besar ketimbang kita, percaya pada diri sendiri dan bersungguh-sungguh dan belajar dari kekalahan telak dari Timnas Indonesia, dan endingnya dapat membalikkan keadaan dan meraih kesuksesan.
Kita memang menang di kandang,tapi kita tidak juara. Kita hargai perjuangan Timnas Indonesia dengan segenap kemampuan dicurahkan untuk menggapai juara piala AFF. Menjadi juara hanya simbolik, tetapi lebih dari itu heroisme harus lahir secara sistimatis dan sejak dini, anak bangsa harus dibentuk karakternya sejak masa kecilnya. Dan sepatutnya guru-guru kita nunjauh disana tadi, bersama anak-anak bangsa,yang selayaknya dimediakan dan diberitakan sembari para politikus menaruh harapan besar pada mereka untuk menyiapkan generasi bangsa yang memiliki daya juang yang hakiki, mencintai sesama, unjukrasa dalam bekerja dan berkarya, demonstrasi dalam menghasilkan karya-karya terbaik yang dimiliki dan menghargai jasa para kusuma bangsa untuk malu melakukan korupsi yang dapat menurunkan martabat bangsa dan dirinya sendiri. Ungkapan penulis hanyalah sepenggal kata mutiara yang sangat sulit terwujud kalau kita tidak memulai dari diri sendiri,keluarga,lingkungan kerja dan di dalam cakupan yang luas berbangsa dan bernegara. nasionalisme dibangun sejak dini dan berkelanjutan, jangan biarkan anak-anak bangsa karakternya terbentuk menjadi bangsa yang perusuh, tanamkan nasionalisme dan bentuk karakter mereka, dan jadilah tokoh yang memberi inspirasi. Jiwa dan semangat seperti inilah yang harus dibangun, yang saat ini sangat langka ditemukan.
Filed under: Artikel, Berita, Cerita Sukses |
Tinggalkan Balasan