Program membaca telah diluncurkan oleh DBE2-project, dan telah mengirimkan 600 buku bacaan tambahan ke 1067 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah yang tersebar di 7 propinsi di Indonesia dan melibatkan orang tua untuk berpartisipasi dan mendukung kegiatan membaca di rumah.
Siswa secara rutin akan membawa buku bacaan ke rumah untuk dibaca bersama orang tua,adik dan kakaknya, dan menumbuhkan minat baca yang berkesinambungan di sekolah dan rumah. Lebih dari 3000 kelas telah memiliki pojok membaca atau perpustakaan kelas dan koleksi buku-buku yang tersedia dan dinikmati puluhan ribu siswa SD/MI, namun demikian jumlah buku dan siswa yang didorong untuk membaca terbilang kecil dibandingkan jumlah siswa dan sekolah di seluruh Indonesia saat ini. Efek yang ditimbulkan oleh reading program adalah menyebarnya virus membaca ke seluruh kalangan yang diekspektasi akan menyebar ke berbagai sekolah non-binaan melalui progran transisi,reflikasi maupun desiminasi.
Tantangan terbesar dalam meningkatkan tingkat baca-tulis tampaknya terletak pada kurangnya bahan bacaan yang tepat, baik di sekolah maupun di rumah, dan kurangnya jumlah buku yang tersedia bagi anak di kelas. Kalaupun kemiskinan bukan merupakan faktor penentu utama kesiapan baca-tulis, Lyster (1998, dalam pers) menemukan bahwa pendidikan ibu merupakan prediktor penting untuk perkembangan membaca, meskipun dengan memperhitungkan faktor IQ.
Bagaimanakah ibu yang lebih berpendidikan berkomunikasi secara linguistik dengan anaknya dibanding ibu yang kurang berpendidikan? Apakah mereka membacakan buku untuk anaknya lebih sering atau dengan cara yang berbeda dari ibu yang kurang berpendidikan?. Apakah pencegahan gangguan membaca sebaiknya dimulai secara tidak langsung dengan mendidik orang tua?.
Penelitian oleh Whitehurst, Epstein, Angell, Payne, Crone ddan Fischel (1994) menunjukkan bahwa mendidik orang tua dari masyarakat sosio-ekonomi rendah tentang cara berinteraksi dengan anaknya pada saat mereka membacakan untuk mereka, berdampak positif terhadap perkembangan baca-tulis anak. Dalam penelitian ini orang tua diminta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan kata tanya “apa”, “mengapa”, “di mana” dan “kapan” pada saat sedang membacakan, untuk membantu anak memahami isi teks. Bahkan jika perkembangan membaca sejauh tertentu tergantung pada faktor biologi dan genetik, membaca adalah kemampuan yang sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Jika bahasa rumah berbeda dari bahasa yang dipergunakan ketika anak belajar membaca dan menulis, anak kemungkinan akan menghadapi banyak masalah. Oleh karena itu, jika seorang anak tidak dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya atau jika bahasa ibunya tidak mempunyai bahasa tulis, bahasa pengantar harus diajarkan kepada anak secara intensif di samping mengajarinya membaca dan menulis. Situasi ini tampaknya merupakan realitas yang ada di daerah tertentu di Indonesia, meskipun anak diharapkan belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya.
Program membaca selain merupakan tugas nasional yang harus didukung oleh pemerintah daerah agar program ini menjadi lebih strong melalui sebuah gerakan yang dimulai dari sekolah dan rumah. Sebuah kelas dan koleksi buku yang kaya dan beragam akan memperluas bukan saja kemampuan membaca siswanya, namun akan memperluas dunia mereka (Fountas dan Pinnell, 2001). Pemerintah Kota Makassar yang dinahkodai Ilham Arief Sirajuddin dapat menjadi contoh yang telah membuktikan komitmennya untuk menjadikan membaca sebagai program utama dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa melalui “Gerakan Makassar Gemar Membaca”. Jangan kita tidak membaca walau semenit dalam sehari, kalau tidak ingin ketinggalan informasi, pengetahuan dan wawasan.
Tetap semangat dan teruslah membaca!.
Meningkatkan minat baca siswa dimulai sejak usia dini dengan beragam bacaan yang dapat membantu anak menambah wawasan
Gerakan Makassar Gemar Membaca yang dicanangkan Walikota Makassar gayung bersambut dengan program DBE2
Filed under: Artikel, Uncategorized | 6 Comments »